KABON
TRADE
Perdagangan karbon (perdagangan kredit
karbon) merupakan sebuah pendekatan untuk mengendalikan gas rumah kaca dan
emisi karbon dengan memberikan insentif ekonomi bagi mereka yang berhasil
menurunkan emisi karbon. Secara umum, terdapat dua sistem utama dalam
perdagangan tersebut, yaitu ‘cap and trade’ dan ‘baseline and credit’.
Kadang-kadang kedua jenis skema tersebut
dapat diterapkan secara bersama-sama dalam sistem perdagangan emisi. Misalnya,
Protokol Kyoto memasukan baik skema ‘cap and trade’ untuk negara-negara maju
maupun skema ‘baseline and credit’ untuk proyek-proyek pengurangan emisi di
negara-negara berkembang. Hal ini disebut Mekanisme Pengembangan Bersih (Clean
Development Mechanism). Perdagangan emisi dapat bersifat wajib – diharuskan
oleh pemerintah dan/atau para pembuat peraturan – atau sukarela.
Dalam sistem ‘cap and trade’, sebuah otoritas pusat (biasanya sebuah badan pemerintah) menentukan batas atau ‘cap’ jumlah karbon yang dapat dikeluarkan. Negara-negara dan/atau perusahaan-perusahaan kemudian diperbolehkan untuk mengeluarkan gas-gas rumah kaca (misalnya, karbon dioksida) sampai dengan jumlah yang dibatasi. Apabila emisi karbon lebih tinggi daripada batas tersebut, maka negara/perusahaan tersebut perlu membeli kredit karbon untuk diperhitungkan dengan emisi mereka. Apabila jumlah emisi lebih rendah dari batas yang ditentukan, maka negara/perusahaan tersebut diperbolehkan menjual selisih antara emisi aktual dan batas yang diizinkan bagi mereka dalam bentuk ‘kredit karbon’ (dengan demikian mereka memperoleh insentif finansial atas pengurangan emisi mereka).
Berdasarkan sistem ‘baseline and credit’,
sebuah kelompok atau perusahaan yang tidak menganut sistem ‘cap and trade’
(seperti Indonesia) dapat menciptakan kredit dengan mengurangi emisi mereka di
bawah tingkat skenario ‘baseline’ (usaha seperti biasa). Salah satu contoh
adalah sebuah perusahaan yang menukar bahan bakar fosil (seperti diesel) dengan
energi terbarukan (seperti biofuel dari minyak Jarak). Baseline untuk
perusahaan tersebut adalah emisi dari diesel yang mempunyai keluaran (output)
gas-gas rumah kaca yang tinggi. Pada saat diganti dengan biofuel, jumlah emisi
jauh lebih rendah dan selisih yang tercatat antara jumlah emisi (karbon) dapat
dinyatakan sebagai kredit karbon (yang kemudian dapat dijual di pasar
internasional). Hal ini memberikan insentif bagi pengembangan sumber daya
energi terbarukan dan pengurangan emisi.
Seberapa besar nilai perdagangan tersebut?
Menurut Bank Dunia,
pada tahun 2008, pasar karbon global mengalami pertumbuhan hingga mencapai
AS$126 miliar, dari AS$63 miliar pada tahun 2007 dan hampir mencapai 12 kali
lebih tinggi dibanding tahun 2005. Sebanyak 4,8 miliar ton karbon dioksida, gas
rumah kaca utama yang dianggap sebagai penyebab pemanasan global, diperdagangkan
tahun lalu, naik sebesar 61 persen dari jumlah sebesar 3 miliar ton yang
diperdagangkan pada tahun 2007.
Harga karbon di Indonesia yang ditawar negara-negara maju saat ini adalah 3
dollar per Hektar/ton/tahun. Padahal, hutan di Brazil dihargai 12 dollar.
Sangat mengherankan memang.Sedangkan Indonesia saat ini hanya memiliki hutan sekitar 90-an juta Hektar saja, itupun tak semuanya dalam kondisi baik. Jadi kalau mau tau keuntungan yang diperoleh Indonesia ya tinggal mengalikan saja harga per Hektar dengan luasan hutan yang ada.
Indonesia baru akan menjual potensi hutannya selepas tahun 2012 nanti, atau setelah Protokol Kyoto (2008-2012) berakhir, namun saat ini sudah banyak lembaga internasional dan perusahaan asing datang ke Indonesia, dan mereka langsung ke kabupaten dan provinsi untuk menawarkan membeli karbon Oleh karena itu tugas bagi pemeritah untuk membuat peraturan untuk perdagangan karbon ini. Tentu Indonesia tidak ingin ada perjanjian yang merugikan. Harga karbon, durasi perjanjian, distribusi benefit-nya harus dipikirkan. Serta peran dari masyarakat dan tentunya “orang-orang kehutanan” sangat diperlukan untuk merehabilitasi hutan yang rusak dan melestarikan hutan yang ada.