Jumat, 05 April 2013

MANUSIA DAN BENCANA ALAM




Bagaimana sikap manusia terhadap bencana alam?
Pertanyaan itu sering menggelitik setiap kali mengetahui telah terjadi suatu bencana yang menyebabkan kehilangan harta maupun jiwa. Beberapa waktu setelah bencana terjadi orang sibuk memberikan pertolongan, dan sebagian sibuk memberikan analisis tentang sebab-sebab kejadian tersebut, dan kemudian sering diikuti saling menyalahkan.
Tetapi, manusia kadang juga bersikap aneh. Sebelum bencana terjadi, sering peringatan telah diberikan, bukti-bukti yang nyata juga telah dipaparkan, dan analisis tentang kemungkinan terjadinya bencana dan kerugian yang akan ditimbulkan juga telah sangat jelas. Namun semua itu sering kali tidak ditanggapi dengan memadai, seakan masehat yang masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan.

Tentang hal ini ada satu contoh, yaitu tentang masalah bencana tsunami. Setelah peristiwa tsunami tanggal 26 Desember 2004, perhatian kita semuanya tertuju pada tsunami, dan pemerintahpun sangat mendukung berbagai program yang berkaitan dengan tsunami. Sebelum kejadian bencana tersebut, tidak ada perhatian yang cukup tentang tsunami. Kira-kira dua tahun sebelumnya, yaitu pada tanggal 18-19 Maret 2002, di Bandung diadakan Workshop tentang Tsunami dengan tema “Tsunami Risk and Its Reduction in the Asia – Pacific Region” yang diselenggarakan oleh Universitas Kyoto-ITB-BMG. Ketika itu, acara itu dapat dikatakan sangat sepi, dihadiri oleh kurang dari seratus orang peserta yang terus menyusut ketika acara berlangsung. Tidak ada pemberitaan di media massa.
Pada kasus bencana erupsi letusan gunungapi pun demikian. Sulit sekali meyakinkan penduduk untuk mau mengungsi hanya dengan informasi tentang kemungkinan bahaya. Tetapi, semuanya mudah dilakukan setelah bencana nyata di depan mata. Sebagai contoh, ketika erupsi lutusan Gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2007.
Kondisi semacam itu nampaknya khas untuk manusia. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain di dunia. Salah satu contoh, seperti ketika erupsi Gunung De Colima tahun 1998-2000.

Berikut ini salah satu contoh kasus yang pernah terjadi di Bandung sebagaimana dituturkan oleh Prof. R.P. Koesoemadinata dalam emailnya di IAGI-net, yang saya kutip dengan izin beliau.
Ini saya sekarang ini menghadapi masalah sosial dalam hal antisipasi
bencana.

Di desa rumah kami jalannya menyisir gawir, dan jalan ini asalnya jalan desa
yang kemudian diaspal sekitar 30 tahun yang lalu. Lalu lintas makin ramai
saja, dan terutama terjadi parkir mobil disisi tebing tamu cafe-cafe yang
menjamur disini, dan truk2 yang bawa material bangunan.

Sudah agak lama jalan sudah retak-retak tanda-tanda mau longsong, dan sudah lama saya laporkan ke kepala desa. Sebulan yang lalu terjadi longsor kecil, saya tulis surat peringatan akan adanya bahaya longsong ke Kepala Desa dengan tembusan ke Camat dan Kepala Dinas PU Kabupaten, Bandung dan Kepala Pusat Mitigasi Bencana Alam.
Beberapa kali dilakukan rapat dengan dengan Camat, Polsek, dengan warga setempat lainnya, pemilik cafe, dan 2 orang professsor (bayangkan katanya pertama kali ada rapat desa dihadliri professor, 2-nya dari ITB lagi). Namun walaupun disadari oleh rapat bahkan diputuskan supaya dilarang parkir sepanjang tebing dan juga membatasi truk yang lewat, sampai kini tidak ada tindakan apa-apa dari Kepala Desa (mungkin takut kehilangan uang parkir?), seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal terjadi rempag lagi di badan
jalan, walaupun kecil. Kalau terjadi longsor besar mungkin seluruh badan
jalan akan kena, karena jalan ini buntu saya mungkin tidak bisa keluar.
Daerahnya sendiri saya nilai cukup aman, tidak pernah ada longsor yang
terjadi secara alami, longsor terjadi kalau orang bikin tembok tinggi dan
diisi tanah (cut and fill).

Inilah mentalitas kita dalam menghadapi bencana, “kumaha engke” bae daripada “engke kumaha”. Tetapi mentalitas ini juga ternyata didapatkan di penduduk California (menurut suatu film dokumenter entah di Discovery Channel atau National Geographic), di mana orang tetap membangun rumah-rumah mewah senilai sampai jutaan dollar di daerah yang sudah terbukti rawan longsor, gempa dan kebakaran hutan.
Demikian gambaran tentang sikap manusia terhadap bencana alam. Nampaknya, manusia sulit diyakinkan akan terjadinya bencana sebelum bencana itu benar-benar terjadi dan menimpa dirinya.
Mungkinkan itu naluri manusia untuk mati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar